villa AWATAN, MARAU, KALBAR
Terbuat dari kayu termahal, ulin, sireh sangat familiar di Kalimantan. “Tapi itu dulu, sekarang sireh sudah diganti dengan atap seng dan atap genteng,” kata Haji Jikron, warga Ketapang, Kalimantan Barat yang sekarang berdomisili di Marau.
Marau, daerah ini salah satu kecamatan di Kabupaten Ketapang. Jaraknya lumayan jauh, dari Ketapang hampir empat sampai lima jam kami harus menempuh perjalanan. Jalannya berliuk liuk melewati alur yang mengikuti jalan yang dibuat mengikuti bibir pantai. Menuju ke Marau kita harus melintasi sungai. “Jembatannya belum siap pak, jadi harus menyeberang menggunakan kapal,” kata Ferry, driver yang menjemput kami dari Ketapang. Apatah lagi, siapa yang tidak kenal dengan medan perjalanan di Kalimantan, familiar dengan lintasan yang selalu membelah sungai. Sampai-sampai saya sempat berdebar juga setiap melintasi beberapa jembatan, maklum pelajaran pernah terjadi tak jauh dari pelupuk mata, di Kalimantan yang paling Timur, di Kutai, baru baru ini baru saja kabarnya ada jembatan yang jeblok, menewaskan puluhan korban. Alhamdulillah, kami lewati tiap sungai dengan selamat. Di Marau inilah, dua minggu, saya dan dua teman saya, Yep Supriyatno dan M. Rusman Sulaiman di beri tugas khusus. Mengisi waktu, disela tugas bekerja saya sempat untuk mengenal sedikit kondisi daerah. Termasuk hal-hal yang unik yang belum saya tahu sebelumnya.
Di Marau ini, yang jadi daya tarik saya, adalah Sireh. Tapi sireh tak hanya ada di Marau lah. Di Kalimantan, rata-rata bangunan rumah menggunakan Sireh. Sireh ini aslinya dari Kayu. Masyarakat tempatan menyebutnya dengan nama kayu Berlian. Dalam benak saya disebut berlian mungkin harga dan kualitasnya yang sangat bagus. Kayu nomor satu, nama populernya kayu Ulin. Kayu Ulin ini sekarang sudah sangat langka, flora yang satu ini sekarang secara regulasi diproteksi. Kayu ulin ini sangat tahan, bagus untuk dijadikan bahan bangunan. Termasuk untuk atap yang disebut dengan Sireh. Wajar saja masyarakat menyebutnya “berlian”.
Susunan Sireh ini memang mirip menyusun genteng. Kayu ulin tersebut sepertinya dibelah-belah tipis dan dibuat dengan ukuran yang sama. Ujungnya seragam diberi betuk runcing. Lalu, untuk difungsikan sebagai atap, Sireh disusun mengikuti desain bumbung rumah. Supaya kokoh dipadu dengan paku. “Sireh ni tahan lame, seumur rumah lah, bise seumur hidup, tahan betul,” sebut Haji Jikron.
Haji Jikron, asli dari Ketapang. Ini unik juga. Soal bahasa, logatnya Melayu kental. Persis seperti bahasa orang Riau, terutama di pulau-pulau. Sama persis dengan Bahasa Melayu di Selat Panjang dan Tanjung Pinang.
Tapi, kalau sudah di Marau. Suku Dayak juga banyak. Uniknya, tiap suku Dayak memiliki bahasa yang berbeda. Tapi adat istiadatnya hampir serupa. Saya coba melihat berbagai kegiatan suku Dayak di daerah Marau ini. Saya tidak melihat langsung, tapi dari cerita ke cerita aja. Sepertu dua hari sebelumnya, di tempat kerja yang saya kunjungi, ada sedikit kecelakaan. Akibatnya, dilakukan ritual adat yang menghadirkan Temenggung (Ketua Adat Suku Dayak). Ritual dilakukan dengan sesajian untuk arwah, untuk keselamatan. Begitu kepercaaan masyarakat disini.
Di tempat saya menginap, ada setumpuk dokumen yang memperlihatkan ritual masyarakat tempatan. Dari beberapa album foto yang ada dimeja, setelah kami bolah balik, banyak sekali dokumen album perayaan adat. Salahsatunya ritual dalam pembuaan lahan kebun. Upacara adat ini seperti bentuknya memberikan sesajian, biasanya dalam bentuk menyembelih ayam. Tapi ayam yang disembelih ini sudah dibacakan mantra-mantra tertentu. Disela upacara atau selesai, peserta adat akan disuguhkan meminum tuak, tuak ini sifatnya bisa memabukkan.
“Mau tak mau kita yang datang harus minum,” kata salah satu warga.
Unik memang, di Indonesia ini, khasanah negeri memang melimpah ruah. Apa lagi di Kalimantan yang masih menjadi The Hidden Paradise. Daerah ini sangat eksotis dengan suku Dayaknya. Suku Dayak ini punya beragam ritual adat dan perlengkapan perang yang unik. Misalnya Sumpit dan Mandau. Dua alat ini sangat dikenal. Harga tiap satu Sumpit dan Mandau tidak bisa dengan modal dompet cekak. Alat ini pun dibuat oleh empu yang ahi-ahli. Tidak saja ahli secara skill, juga tahu spiritual dalam pembuatan Mandau dan Sumpit ini. (*)
(esbeno, bangas bersorak)