DEDAP

Kaki buritan tertancap di dalam teluk

Sumpah serapah terus berkecamuk
Tuhan mengabulkan
Dan sang anak berubah jadi keluang (sejenis kelalawar,red)

Di tepi
buritan kapal Dedap mengenang masa pahitnya yang kelam. Di sebuah dusun dekat
muara Tasik Putri Pepuyu, cerita pahit itu bermula. Ibunya yang janda nan
miskin dan Dedap kecil manja tak lepas dari gunjingan penduduk sekitar. Lemah
urat nadi si Ibu membuat duka itu mengalir disetiap susup napas yang ia
rasakan. Dedap kemudian tumbuh menjadi bocah riang yang tak selesu ibunya. Tapi
renta tangan pengasuh itu semakin terlihat. Ibu Dedap selalu ditabuhi batuk
yang menguat. Rentetan mata melihatnya seakan biasa. Padahal semula semuanya
beda. Kampung kecil Dedap memang selalu membawa barah dendam panjang. Tak
senang melihat orang senang dan selalu senang jika ada yang susah. Ibu renta
Dedap mungkin tak pernah luput dari perhatian dan ia hadir hanya jadi pajangan
kecongkakan kampong kecil ini.
Tuhan memihak
pada nasib Dedap. Identitasnya yang miskin tak serta merta menghilangkan keriangan
dalam hidupnya. Bahkan ia tumbuh menjadi anak cerdas yang selalu tampil tangguh
didepan teman sepermainannya. Tapi roh jahat sekutu setan masih tumbuh
disanubari anak-anak kampong yang tak mau martabatnya dikangkangi anak miskin
ini. Terniatlah mereka untuk selalu
mengucilkan Dedap biar budak cerdas ini kembali tampak bodoh, tampak lemah dan
tampaklah segala kekurangan pada dirinya.

***
Batuk ibu
Dedap sejadi-jadinya. Malam dingin yang terselimut angin dan petir tak sedikitpun
menghiraukan penduduk sekitar. Pondok kecil tempat bermukin Dedap dan Ibunya
pun lagi sepi. Dua beranak ini sehabis menangis sejadi-jadinya meratap nasib.
Gunjingan demi gunjingan membuat dua insan ini pun tak sanggup menahan gejolak
panas dalam dadanya. Utang demi utang yang mereka berikan pada Mak Dedap jadi
minyak pelicin supah serapah dua beranak ini. Batas kesabaran dua insan inipun
kadang tak tertahan lagi. Tapi apalah daya, kekuatan Ibu Dedap hanyalah mencari
kayu bakar, hasil jualan inilah yang dapat menjadi penopang mata pencaharian.
Selebihnya tak adalah yang bisa ia usahakan.
Beranjak
sedikit tanggung, Si budak cerdas Dedap mendesak pada ibunya ia akan pergi
mengubah nasib. Wajahnya yang masih
manja hilang sekejab karena tak tahan melihat nasibnya yang semakin parah.
Malam itu dua beranak itu bertegang urat. Amarah Mak Dedap memuncak melihat
gelagat anaknya yang tak seperti biasa. ”Plakk,,,,,”tamparan bertubi dipipi
Dedap. Dedap meringis. Tapi ia tak membuat ia diam mengutarakan nasibnya. Sampai
terucaplah kalimat yang membuat Ibunya terhenyak.”Prakkkk,,,,” kendi kecil
mengantuk di wajah Dedap. Darah segar meleleh. Tak sanggup Mak Dedap melihat
darah dagingnya menderita. Sederas-derasnya air matanya meleleh dan dipelukknya
si Dedap. Dedap tak tahu kenapa Ibunya begitu tersinggung dengan kata-kata yang
baru ai ucapkan. Ia diam dengan menahan seribu bantahan peratanyaan yang
terpendam.
Bergantilah Dedap
menguraikan segala keluh kesah dirinya saat dalam pelukan emak. Tangisnya
mengiringi tangis emak seiring meringis dirinya menahan sakit hantukan benda
padu dikepalanya. Ibunya semakin paham maksud anak. Perlahan-lahan ia juga
mengikhlaskan buah kesayangannya pergi menjauh darinya untuk mengubah nasib.
Walau dalam hatinya ia tak sanggup menahan itu. Ia takut kehilangan buah
kesayangannya untuk kesekian kali.
Malam yang
kalut itu pun dua beranak ini tak henti-hentinya menahan tangis. Dedap sudah
bertekad bulat meninggalkan kampong. Dalam hatinya bercampur baur perasaan
membaur. Sampaikah dia ke negeri tujuan untuk mengubah nasibnya itu. Atau dia
akan menjadi mangsa laparnya laut yang tak membedakan siapa yang mau di mangsa.

Dan budak jelata itu bersumpah
Menghentak niat menyusun langkah
Layar badai. Perahu berkembang
Mengejar datang siang dan malam

Meluncurlah
perahu kecil Dedap merayap mengikut aliran air selat yang terhembus angin. Meneteslah
air mata ibu mengikuti aliran perjalanan Dedap, semakin jauh terasa semakin
kecil suara isakan ibu yang menangis tersedu. Dikegelapan malam. Perahu Dedap
semakin menghilang, dan bayangannya tak lagi ditemukan dipesisir Pulau Padang
ini lagi.
***
Terhenyak
Dedap ketika pundaknya dihampiri tangan halus yang terasa menggelitik kulitnya
yang kekar. Sepertinya ia kenal betul helusan lembut tangan yang baru ia
rasakan sepenuhnya dalam dua purnama ini. Menoleh Dedap, dan betapa girangnya
ketika cantik rupawan istrinya menyapa. “Kenapa kanda begitu bermurung rupa,
adakah yang tidak berkenan dihati kanda sekarang,” ungkap istri Dedap dengan
suara halus. Tak tahan rasanya sapaan merdu itu tak ditanggapi Dedap. Luluh
segala keluh kesah didadanya yang sedang mengusik. Istrinya tak terlalu lama
menunggu jawaban dan Dedap memang tidak menjawabnya secara lisan. Tetapi
seketika rasa rungsing itu berkelebat hilang dari mukanya dan ada tanda risau
lagi yang terlihat oleh istri. “Wahai Dinda ku sayang, bagaimana perasaan dinda
hari ini, apakah dinda merasa hal yang tidak menyenangkan juga.” Istri cantik
Dedap memang pandai memukau kemauan suami. Ia tak membalas dengan mengeluarkan
kemauannya yang keras. Sikap lembutnya membuat Dedap luluh padan dibuatnya. “Terimakasih
kanda sangat memperhatikan dinda. Tak usahlah kanda rungsing sangat
memprihatkan dinda, hidup disamping kanda saja hati dinda begitu
senang,”ungkapnya.
Sumringah
hati Dedap melihat kelembutan sikap istrinya. Damai rasa hatinya, sepertinya
hilang segala keluh kesah yang semula ia rasakan. “Beruntung aku mendapatkan mu
dinda, tak pernah aku merasakan kebahagiaan ini.” ucapan Dedap benar adanya,
saudagar yang terkenal di sepanjang selat Bengkalis ini sudah dikenal diusianya
yang muda. Tapi jerih payahnya bukan tidak rumit. Segala bentuk pertualangan ia
lakukan. Banyak hantaman cobaan yang berkali-kali ia dapat hadapi.
Keberuntungan kemudian berpihak padanya. Tapi tak semua orang yang tahu jerih
payah itu, dan kini decak kagum kebanggaan padanya. Para pimpinan kerajaan-kerajaan kecil diantara selat ini menaruh hormat padanya.
Banyak perdagangan yang ia kuasai. Ia lihai mengambil kesempatan, setiap
perdagangan sangat berhubungan erat dengan bisnisnya. Dedap bukan lagi budak
jelata yang kusut. Perubahan sangat drastis terjadi pada dirinya. Kini ia
sangat berpengaruh. Kesohorannya terkenal sampai dibeberapa negeri rantau
melayu lainnya.
Di
Semenanjung Pulau padang,
nama itu begitu dekat, bibir-bibir kecil masyarakat bercuap-cuap menceritakan
dirinya. Bualan-bualan ini sampailah ke sebuah gubuk yang sangat kecil yang
ditinggal seorang janda yang sudah papa. Bertanya-tanya gerangan hati janda tua
ini dengan sosok kecil anaknya yang pergi dan tak berpulang. Si Dedap yang
bernama sama dengan bualan nama yang tersohor keseluruh negeri ini. Meskipun
demikian banyak masyarakat yang tak mengira Dedap bukanlah nama asing bagi
mereka. Ratusan purnama sudah nama itu tak muncul lagi di kampungnya. Ya dulu
dikampung kecil ini juga terdapat nama Dedap, budak jelata miskin yang memiliki
kecerdasan dan sangat berbakat. Banyak yang suka padanya, tapi banyak yang
sengaja menyulut musuh padanya.
Kehidupan
keluarga Dedap penuh dengan cibiran beragam masyarakat. Meang, awalnya Mak
Dedap. Bukanlah berasal dari keluarga jelata. Ia wanita anggun, cantik dan
solehah yang terkenal pula di sepenjuru kampong. Banyak saudagar kampong
menaruh hati padanya, tapi mak Dedap tetaplah berpegang pada pendidirian.
Mencari pendamping yang betul-betul berpandangan mulia. Sikap ini menuai banyak
ragam cara yang ditimbulkan anak-anak saudagar untuk merebut hati gadis ini
dengan beragam cara. Di fitnahlah mak Dedap dengan berbagai macam cibiran.
Semua kesolehan dan kecantikan itu seakan pudar. Keluarganya di hasut dengan
cara-cara yang tak padan. Habislah segala kemegahan keluarga, mak bapaknya
meninggal dalam kehidupan kesengsaraan sementara mak Dedap bertahan menjadi
perawan tua. Di saat seperti ini niat seseorang lelaki bersimpati padanya.
Dijadikanlah mak Dedap sebagai istri. Nasib tak munjur padanya, Ayah Dedap tak
lama meninggal tinggalllah maknya menjanda
dalam momongan usia Dedap yang masih balita.
***

Terburu-buru Mak
Dedap siap mendengar cerita tentang saudagar Dedap. Semilir hati nuraninya
terusik dengan sebutan nama Dedap. Ia begitu berhasrat bersua dengan Tuan Dedap
yang pesohor itu. Benarkah ia anaknya, atau kalau tidak tau tak saudagar itu
dengan nama Dedap yang lain yang pernah mengarung pulau untuk mengubah nasib.
Mak Dedap tak peduli, begitu hasrat membara padanya, saban siang dan sore hari
ia bermunajat bertemu lagi dengan anaknya yang hilang. Kesal benar ia sudah
meluapkan kemarahan pada anaknya. Saat ia mengingatkan suatu pesan jangan
terlalu ambil pusing dengan cemoohan warga. Tapi Dedap tak hiraukan. Ia
khawatir jika dilawan padah dapatnya.
Mak Dedap tak tega menjelaskan bapaknya, dan semua keluarganya mati karena
fitnah belaka. Ia perempuan yang tak lancang, pantang larang adat dah dipenuhi mak
Dedap. Tapi kalau adat diselimut petuah perdukunan yang kental. Entah adat
entah setan bercampur baur jadi satu, semua yakin pada yang gaib yang mungkin
sangat jahat.
Pergilah Mak
Dedap menuju pantai tempat melepas Dedap anaknya, menetes sejadi-jadinya ia
mengingat malam kelam penuh pertaburan perasan yang tak menentu waktu itu.
Sampai sekarang penyesalan begitu bergayut dalam hati. Benarkah Dedap sudah
tiada. “Diamanalah jasadnya ya ALLAH, tunjukanlah pada hamba mu yang daif ini
tentang dirinya, aku merindukan dirinya ya Rabb, darah daging dari diriku yang
lusuh ini,” ungkapnya diambang tetesan air mata yang terus berlinang.
Nama itu
terasa begitu dekat dalam setiap degup jantung Mak Dedap, ia pun berniat hanya
berniat menanti kapal layar saudagar Dedap melintas di selat yang panjang ini.
Setiap siang ia menunggu hadirnya kapal melintas. Dan mak Dedap melintas dengan
perbekalan seadanya menuju tengah selat. Lama menunggu, putus asa rasanya tak
ada kapal Dedap yang melintas. Panas terik menghabiskan tenaganya, beberapa
hari lagi perbekalannya habis.
***

Petang megang,
diantara matahari mulai menusup dalam sebalik bumi. Pancaran merah saga
terpancar diantara awan yang lembut dari sebalik pulau. Sisa kilauan panas itu
tak lagi menyengat. Malah menjadikan suasana begitu nyaman. Istri Dedap terus
menyaksikan keindahan setiap melewati pulau-pulau yang panjang ini. Apalagi
setelah membelah laut yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka. Begitu tertegun
dirinya menyaksikan kemolekan panorama ini. Ingin rasanya setiap saat suaminya
membawanya berpesiar disemua penjuru pulau yang membuat namanya tersohor ini. “Dimanakah
kiranya Kanda dulu terlahir, bolehkan Dinda bertanya,” ungkap Istri Dedap
halus. Dedap tak menjawab, ia hanya mengalihkan pembicaraan dengan memuji
kemolekan istrinya yang memang mempesona semua orang. “Kanda ni pandai sangat
memuji. Tapi benarkah sampai tua nanti kanda masih bersifat macam ini,” sindir
istrinya yang merisaukan Dedap takut berubah.
Malam hampir
mengusik, nahhoda kapal mengusulkan pada tuan Dedap agar kiranya ia melempar
sauh untuk berhenti di tepian selat. Air laut sebentar lagi surut. Jalanya
kapal tentu akan susah menahan air laut surut. Bisa-bisa hanya menghabiskan
tenaga perjalanan. Dan kemungkinan beting membuat kapal bisa kandas.
Di sauhlah
kapal persis ditepian selat yang nyaman dari lintasan kapal lain yang berlalu
lalang. Kalau saja penduduk setempat tahu ada kapal Dedap berlabuh dikawasan
ini mungkin saja penduduk heboh. Karena besar benar hasrat mereka ingin
menjumpai Dedap, sang saudagar muda yang sangat dekat dengan kerajaaan. Kabarnya
istrinya pun sangat rupawan. “Tuan Dedap, persiapan untuk berlabuh sudah siap.
Jika tuan tak berkenan, segera perintahkan pada hamba untuk mengalihkan sauh
ini,” ucap nakhoda kapal dengan ujaran yang bergitu penurut dengan Dedap.
Dedap
memandang nanar dan tegas dengan para bawahannya. Hantukan kepalanya cukup
memberikan gambaran tegas bahwa usulan tersebut disetujuinya. Lagipun Dedap
paham betul, setelah air pasang naik seperti ini sebentar lagi surut datang,
dan bencana beting tak bisa dianggap enteng oleh semua pelaut. Tanda-tanda alam
dilautan seperti ini sangat dipahami betul oleh Dedap. Saudagar penguasa
samudera ini.
Segala layar
kapal diturunkan, para anak buah kapal sibuk menyelesaikan pekerjaannya saat
perahu bersandar. Dari kejauhan tampak perahu kecil, beringsut-ingsut mendekat.
***
Lapar tak lagi
tertahankan oleh perut Mak Dedap, penantiannya menunggu anaknya terus membara.
Firasatnya yakin betul dengan hal itu. Tak sanggup ia meninggalkan selat barang
sedikitpun. Meskipun perbekalan makananya sudah terlanjur habis. Dua hari ini
tak ada orang yang bisa ia minta tolong. Dan kapal satu-satunya yang sedang
berlabuh ini menjadi harapannya.
“Tuan-tuan….tuan…,”pekik
Mak Dedap menyusuri badan kapal yang begitu gagah. Dalam hati mak Dedap tak
pernah ia menemukan kapal sebesar ini. Panjang kapal begitu besar dan tinggi.
Suaranya perlahan-lahan sampai ke pangkal dan buritan. “Saye mendengar suara
memanggil-manggil coba kau lihat dimana gerangan suara,” ujar anak buah kapal
sesama mereka. Terlihatlah mereka empang kecil yang sedang dihala seorang
nenek-nenek renta. “Tuan, perkenankan saya minta sedikit barang makanan tuan.
Karena saya begitu lapar tuan,” ungkap nenek renta ini. Dia tidak tahu kapal
yang disinggahinya ini adalah kapal Dedap. Pujaanya.
“Baiklah nenek
tua, saya akan kasi tahu dulu dengan tuan saya. Apakah gerangan beliau akan
memberikan apa yang kau mau,” ungkap anak buah Dedap. “Terima kasih tuan,”
ucapnya lirih. Tak lama sebungkus makanan dibawakan oleh anak buah Dedap. “Tuan
Dedap hanya memberikan ini. Hendaknya nenek berkenan dan pulanglah, karena
bekal ini dapat membantu nenek dalam beberapa minggu kedepan,” ungkap anak buah
Dedap perlahan.
Mendengar
kata-kata Dedap, bukan main terkejutnya Mak Dedap sejadi-jadinya. Tak disangka
apa yang diharapkannya muncul seketika. Tanpa ia sadari. Perahu Dedap yang
ditunggu telah sampai didepan matanya. Anak buah Dedap berbalik ingin pergi.
Mak Dedap terus memanggil berharap.”Tuan….tunggu tuan…..tunggu…,”ungkap nenek
ini memanggil-manggil.”Ada gerangan apa lagi wahai nenek,” ungkap anak buah Dedap. ”Perkenankan saya
bersua dengan Dedap, tuan. Berilah kesempatan pada saya sekali lagi,”ungkapnya.
Berkerennyit kening beberapa anak buah Dedap melihat permintaan Mak Dedap. Hati
mereka bertanya-tanya apa maksud dari nenek tua ini yang sangat berbelit-belit
meminta banyak hal ini. ”Tak bisa, tuan Dedap tak bisa diganggu. Harap nenek
pulang sahaja,’ ungkap anak buah Dedap menyentil. “Tuan….tuan….berilah
kesempatan saya berjumpa dengan Dedap….saya menantinya sangat lama tuan…,kalau
tidak. Saya tak akan beranjak selangkah pun dari kapal ini,” ungkap Mak Dedap
penuh iba. “Saya akan kasi tahu Tuan Dedap sebentar. Jangan pula sesudah ini
nenek buat krenah yang berbeda lagi,” ungkap anak buah Dedap bercampur jengkel.
Dua kali
dihampiri anak buahnya, sebal juga hati Dedap. Kali ini anak buahnya begitu
memaksa. Nenek tua ingin bersua dengan dirinya. Jika tidak, nenek yang baru
saja minta makanan itu tak mau beranjak dari kapal. ”Apa yang diinginkan orang
sini, kebiasaan meminta-minta tak habis-habisnya,” ungkap Dedap pada anak
buahnya. “Saya akan kesana,”ungkapnya.
Terasa aneh
ketika Dedap melihat seorang nenek yang ada didepannya. Tapi tak terlintas olehnya
siapa gerangan orang yang berkemauan sangat untuk melihat dirinya. “Apa
gerangan yang nenek inginkan. Saya Dedap. Pemilik kapal ini, bukankah
permintaan anda sudah kami berikan. Apa gerangan yang membuat Anda banyak
bertingkah seperti ini,” ujar Dedap dengan nada kasar dan ketus.
Terpana Mak
Dedap melihat sosok gagah seperti yang sangat ia kenal ini. Kalimatnya sangat
persis dengan ayahnya yang gagah dan bijaksana. Bentuk tubuhnya juga hamper
sama. “Dedap…..aku yakin kau anak ku nak, kau Dedap anak ku,” ungkap Mak Dedap
yakin. Riuh diatas kapal anak buah Dedap bertanya-tanya. Mereka saling pandang.
Istri Dedap memandang dengan curiga melihat sosok tua ini. Anak-anak buah Dedap
yang lain mengganggap tinggkah nenek tua ini udah meracau.
Dedap dengan tegar
membalas pernyataan nenek tua ini. “Wahai nenek tua bangka. Tidakkah kau kenal
kesohoran Dedap. Kau kira aku juga makhluk jelata yang sama dengan engkau.
Sebaiknya engkau pulang dan berkaca diri. Aku Dedap bukanlah anakmu yang kau
maksud. Aku rasa kau telah gila,” ujar Dedap menyembunyikan perasaan malunya
didepan istrinya dan ratusan anak buahnya.
“Dedap,,,akuilah
aku ini ibumu, nak. Dah lama ibunda menunggumu. Berilah kesempatan ibu
mendekapmu nak sekali saja,” ungkapnya dengan iba bercampur menahan pahit
ungkapan Dedap. Dedap tak memperhatikan, ia pergi dan menyuruh anak buahnya
mengusir nenek tua ini. “Dedap,,,,ibu ingin memelukmu nak,” merayap rayap ibu
Dedap dibadan kapal untuk naik diatas buritan. Bergegas pula anak buah Dedap
mengusir nenek renta ini. Tapi tak sedikitpun kemauan nenek ini mundur. Sudah
didepan mata apa yang ia harapkan selama ini. Tak kuasa ia menahan untuk
beranjak pergi.
Dedap bukan
main murka melihat polah nenek renta ini. “Tak dengarkah telinganya dengan
segala ucapan saya tadi,” gerutu Dedap dalam hati. Pergilah Dedap kembali
menghampiri nenek tua ini. Hilang segala kesabaranya. Di peganglah tangan nenek
yang hamper naik keatas buritan ini. Dengan kedua tangganya. Sumringah nenek
ini melihat cengkaran gagah yang sangat ia kenal ini. Tapi tak lama dilepaskan
badan renta ini diatas empang dibawah kapal. “Brakkk,,beraair air mata nenek
ini mengucur,,,harapannya pupus. Dedap tak seperti yang ia harapkan. Mungkin
saja anaknya Dedap memang sudah meninggal dunia. Dedap didepannya ini hanya
punya kemiripan yang mungkin saja bukan dia orangnya.”Maafkan saya
tuan,,,”tangis nenek tersedu-sedu menahan terhinanya dia. Perlakuan ini terasa membuat
hatinya tercabik-cabik menahan malu. Perlakukan ini lebih dirasa nista dari
segala gunjingan atas hidupnya yang susah
selama ini.”Maafkanm saya tuann,,, Saya rela menerima hukuman apa pun yang tuan
inginkan dari saya, tapi jika kau memang Dedap maafkan saya,” ujarnya sambil
menangis.”Ya Alah berilah petunjuk pada hambamu ini apakah benar dia anakku.
Jika benar tunjukkanlah pada diriku tuhan. Aku tak rela kutuklah dia ya tuhann,,,”
permintaan nenek tua ini diiringi hujan lebat yang begitu datang cepat.
Angin kencang
diselingi kuatnya air surut begitu kencang. Sauh kapal Dedap tak kuat menahan.
Heboh seketika penduduk kapal yang begitu ramai. Kapal bergoyang mengikut air
yang menghentak-hentak badan kapal. Seketika pula beting datang, kapal yang
sarat muatan ni terhempas dihamparan beting, berderai, terasa kapal menemukan
ajalnya. Suara penduduk diperahu meraung-raung meminta tolong dan lamat-lamat
terdengar suara Dedap yang memanggil ibunya.”Makkk,,maafkan aku maaakkk. Aku
mohon ampun makkkk….makkkk,,makkk,”.
Hujan
berkecamuk bersama kilat dan petir, malam hampir datang. Air surut berubah
seperti datangnya air bah yang dibuka bendungannya. Sangat kuat. Tertancap sudah
kapal Dedap dihantam beting. Disitu kapal pecah berderai. Dan Dedap entah
kemana. Diantara hujan datang, dan siang berganti malam. Suasana kalut itu
bercampur baur. Di ketinggian langit diatas hamparan kapal yang terhepas
beting, sekawan keluang berterbangan sambil berkuak kuak. Mungkin saja itu
Dedap.
Pekanbaru 23
April 2008

S. Beno (Bergiat di komunitas Bangas Bersorak)

Comments :

0 komentar to “DEDAP”

Posting Komentar