MUSYAWARAH Nasional Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI) VII di Sanur Bali 12-15 Juli 2010 lalu jadi hajatan akbar yang penuh gegap gempita. Suksesi ormas berbasis petani ini terasa riuh, dan mungkin menjadi fenomena langka yang selama ini tidak terjadi. Beragam pandangan dan analisa pengamat melihat, fenomena ini, ada yang mengukur organisasi ini sarat dengan kepentingan politik dan hipotesa lainnya.
Di sini penulis tidak mau menafsirkan berbagai pandangan itu, termasuk melihat hasil Munas HKTI, yang memilih secara aklamasi incumbent, Prabowo Subiyanto, tokoh partai Gerinda, mengenyampingkan beberapa nama politikus yang berniat untuk mengampu organisasi ini, seperti Sutiyoso (mantan Gubernur DKI Jakarta), Titiek Soeharto (Wasekjen Golkar), Anton Apriantono (mantan Menteri Pertanian), Djafar Hafsah (Ketua DPP Demokrat) dan Oesman Sapta (Ketua Partai Pembangunan Daerah). Ditambah lagi, fenomena baru, yakni adanya wacana berdirinya HKTI tandingan, (publiklah yang layak menilai fenomena ini).
Terlepas dari hal tersebut, HKTI adalah ormas yang menyimpan asa besar terhadap kepentingan petani. Keberadaan kelembagaan berbasis masyarakat ini, adalah bagian penting untuk petani, setidaknya bisa menjadi forum untuk mengadvokasi petani melalui pewacanaan isu-isu strategis pertanian dan hal hal lain yang menyangkut program pemerintah.
Pasalnya, selama ini, lembaga ini sudah membuktikan mampu menghimpun beragam kalangan, politisi, praktisi, akademisi dan petani itu sendiri. Wajar memang, keberadaan ormas petani ini, ketika menjadi pilihan seksi elit politik, apalagi, secara statistik, basis petani menjadi pertimbangan yang sangat menggoda. Jumlah petani di Indonesia sangat besar, mencapai 44,6 persen dari jumlah penduduk di Indonesia.
Ketika ormas ini menjadi pilihan seksi, setidaknya, ini menjadi posisi strategis untuk memposisikan ormas ini menjadi wadah strategis memperjuangkan kepentingan isu pertanian. Meskipun beragam pandangan muncul, seperti kata peneliti, dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, ia berpandangan, para politisi menunggangi petani tidak sepenuhnya berhasil. Pasalnya petani tak mudah disetir oleh kekuatan politik.
Ketika ormas ini menjadi pilihan seksi, setidaknya, ini menjadi posisi strategis untuk memposisikan ormas ini menjadi wadah strategis memperjuangkan kepentingan isu pertanian. Meskipun beragam pandangan muncul, seperti kata peneliti, dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, ia berpandangan, para politisi menunggangi petani tidak sepenuhnya berhasil. Pasalnya petani tak mudah disetir oleh kekuatan politik.
Misalnya Prabowo menjadi Ketua HKTI pada pemilu kemarin, tapi ternyata petani juga tidak memilih Ibu Mega dan Prabowo. Setidaknya, ini yang perlu kita pahami, meskipun elit berkepentingan, di akar rumput, masyarakat punya pandangan lain, petani juga seperti itu, masyarakat semakin cerdas untuk tidak dipolitisir. Jadi munculnya elit-elit terlibat dalam ormas petani ini, tidak perlu jadi perdebatan, yang penting adalah bagaimana mengawal agar peran ormas ini benar-benar dirasakan untuk petani.
Kepentingan besarnya adalah, bagaimana memperjuangkan isu strategis pertanian menjadi bahasan dan masuk dalam studi pembangunan nasional. Pasalnya, selama ini, sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, isu strategis untuk pembangunan pertanian memang selalu menjadi agenda rencana kerja pemerintah, tapi realisasi pengembangan masih belum dirasakan optimal. Bahkan untuk urusan orang banyak, soal ketahanan pangan, masih terjadi perdebatan apakah masih mampu. Tidak sedikit bahan makanan pokok kita yang masih impor.
Padahal, berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk negeri ini setiap tahun, setidaknya sektor ini dituntut memegang peranan terdepan. Diproyeksikan, tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia untuk ke depan yang selalu meningkat.
Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengkonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 214 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta hektare.
Sementara sisi lain, persoalan lahan pengembangan pertanian menjadi masalah dan carut-marut. Ditulis Wan Abbas Zakaria, akademisi dari Universitas Lampung, saat seminar nasional, “Dinamika Pertanian Nasional dan Perdesaan” melansir beragam permasalahan pertanian di Indonesia. Pertama, berlanjutnya konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian, yakni 5,25 persen per tahun periode 1995-2005.
Lahan persawahan menyusut dari 8.464.678 hektare menjadi 7.696.161 hektare. Kedua, menurunnya kualitas kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan. Ketiga, perubahan iklim yang mengakibatkan fluktuasi dan penurunan produksi pertanian. Keempat, lambatnya penemuan dan pemanfaatan teknologi tepat guna.
Kelima, rendahnya insentif finansial dalam menerapkan teknologi secara optimal. Keenam, penguasaan lahan yang sempit. Hasil penelitian Departemen Pertanian 2000 menunjukkan, 88 % rumah tangga petani hanya menguasai lahan persawahan hanya 0,5 hektare dan sulitnya akses terhadap lembaga kapital, informasi dan teknologi. Kondisi itu semua menyebabkan petani miskin, tidak berdaya dan tertinggal.
Jadi, masukknya elit politik dalam ormas besar pertanian bisa dipandang dengan cara yang lebih relevan. Masukknya elit bisa dijadikan strategi untuk mem-pressure masalah dan problem sektor ini. Tapi, perlu pengawalan agar ormas ini tidak dipolitisir. Mengutip pandangan Bungaran Saragih, petani membutuhkan organisasi yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan politik ekonominya.
Jadi, masukknya elit politik dalam ormas besar pertanian bisa dipandang dengan cara yang lebih relevan. Masukknya elit bisa dijadikan strategi untuk mem-pressure masalah dan problem sektor ini. Tapi, perlu pengawalan agar ormas ini tidak dipolitisir. Mengutip pandangan Bungaran Saragih, petani membutuhkan organisasi yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan politik ekonominya.
Organisasi petani harus memiliki pengaruh politik, tapi bukan partai politik. Meskipun, kebijakan yang dibuat pemerintah, erat kaitanya dengan interest dari kepentinganya. Pasalnya, kebijakan itu juga berarti politik, politik dalam pengertian campur tangan bisa jadi keputusan yang timbul dari pesanan dan interest grup, dipengaruhi sebuah kepentingan. Di sinilah pentingnya organisasi petani yang besar, rapi, dan tujuannya jelas untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya.
Tidak mustahil, jika kepentingan dan harapan petanilah yang perlu menjadi starting point, di tengah-tengah serbuan para elit politik yang menyemplungkan diri dalam ormas ini. Keberadaan lembaga tani termasuk organisasi profesi dan kamasyarakatan yang kuat yang didukung dengan kekuatan bergaining yang kuat, memang sangat dibutuhkan.
Misalnya, untuk memperjuangkan dan mengawal program pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan petani, seperti bantuan kredit petani, subsidi benih, subsidi pupuk, program penyuluhan, proyek irigasi, dan lain-lain.
Bahkan untuk jadi bagian yang penting untuk menggesa advokasi kepentingan petani seperti untuk memperjuangkan berdirinya lembaga keuangan yang sesuai dengan skim tani, memperjuangkan realisasi program pemerintah untuk usaha pertanian, seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), kredit revitalisasi perkebunan, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program PKBL dari perusahaan BUMN, usaha penyelamatan tata ruang agraria, memperjuangkan privasi tani nasional dari persaingan usaha di sektor pertanian, terutama dari gempuran produk pertanian impor, memperjuangkan kemudahan dalam melakukan ekspansi pasar, dan banyak hal lain untuk pengembangan dan kemajuan sektor pertanian masa depan.
Posisi HKTI Riau
Sebelum Munas HKTI berlangsung, di Riau hal yang sangat menggembirakan HKTI Riau juga digandrungi oleh pemangku kebijakan di daerah. Bahkan pengurus HKTI Riau sudah menghimpun lebih dari 300 pengurus yang melibatkan pejabat, praktisi, akademisi dan petani itu sendiri. HKTI Riau yang diampu oleh asisten Pemprov Riau, Ramli Walid juga menyimpan harapan yang besar.
Apalagi kepengurusan ini, melibatkan pengurus yang berlatar belakang pejabat yang mengampu di SKPD seperti Patrianov (Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Riau), Basriman (Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Riau), HT Dahril (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Riau), dan pejabat teras lainnya. Setidaknya organisasi massa ini sudah diampu oleh pengurus yang bersentuhan langsung memiliki kewajiban mengurus pertanian. Ditambah lagi, banyak akademisi yang terlibat.
Tentu saja, harapanya ke depan, isu-isu strategis menyangkut kepentingan petani, bisa didengar. Sehingga petani langsung mendapat wadah untuk mengkomunikasikan berbagai persoalan yang terjadi padanya. Lembaga sudah ada, pembina dan pengurusnya sangat kompeten, yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah petani berpartisipasi untuk berani menyampaikan persoalannya kepada lembaga ini? Bravo petani. (*)
Suprapto, (Es Beno) Pengelola Blog Bangasbersorak, Wakil Sekretaris Pemuda Tani Riau dan mantan pengurus Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) Pusat. Saat ini aktif di Divisi Multimedia Riau Investment Corp (RIC) dan Redaktur Pelaksana Majalah SAWIT RIAU (Majalah Terbitan GAPKI RIAU bekerja sama dengan Divisi Multimedia RIC). Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Riau Pos, Kamis (22/7/2010).
Comments :
Posting Komentar