Menelusuri Pakan Baroe Death Railway


Es Beno (Bangasbersorak)

Mungkin banyak yang tidak tahu, ada situs besar jejak pembangunan rel kereta api di Riau. Jalur rel yang memanjang dari Pekanbaru (Dulu disebut Pakan Baroe) ke Muara Sijunjung, Sumatra Barat, ini dibangun saat penjajahan Jepang. Namun kini nyaris tak berbekas. Hanya menyisakan cerita nestapa yang mengharukan. Sehingga kerap disebut “Pakan Baroe Death Railway”.

Seonggok monumen sederhana, peringatan matinya ribuan pekerja romusha berdiri di dekat pemakaman umum, Jalan Kaharuddin Nasution, Simpang Tiga, Pekanbaru. Monumen ini disebut Monumen Pahlawan Kerja, diresmikan pada 1978 oleh gubernur riau saat itu, HR Soebrantas. Tak jauh dari monumen, ada peninggalan lokomotif uap dengan nomor C 3322 berwarna hitam. Gerbongnya sudah tidak ada, relnya pun yang tersisa hanya pada penggalan sisa lokomotif saja.

Penggalan lokomotif ini, diletakkan di atas beton. Di bawahnya ada relief lukisan tentang kejamnya Jepang mempekerjakan romusha. Di atas penggalan lokomotif, ada monumen bertuliskan Pahlawan Kerja. Di antara hamparan kuburan, bercampur dengan kuburan massal yang tak bernama.

Monumen dan lokomotif ini punya cerita kuat. Lokomotif uap ini hanya sebagian peningggalan saja, rel keretanya nyaris tidak ada. Padahal dulu, daerah ini merupakan lintasan rel kereta api Pekanbaru-Muara Sijunjung.  Kereta api zaman penjajah Jepang itu sempat pula beroperasi. Pengerjaan jalur lintasan kereta api sepanjang 220 kilometer ini, pada April 1943 sampai 15 Agustus 1945.

Jalurnya dari Pekanbaru melewati Kampar Kiri, Lipat Kain, Kota Baru, Logas, Lubuk Ambacang sampai ke Muara Sijunjung, Sumatera Barat. Para romusha yang dipaksa mengerjakan proyek mercusuar ini, hanya menggunakan peralatan sederhana, lebih mengandalkan tenaga manusia.

Meski di Riau sendiri nyaris tak berbekas, ternyata monumen serupa juga diabadikan di Inggris. Bertuliskan ”The Sumatera Rail Way” di National Memorial Arboretum in Staffordshire, dan didirikan Agustus 2001 lalu. Ini untuk mengenang ribuan tentara POW (Prisoner Of War) yang tewas sebagai tahanan. Diabadikan dengan menunjukkan peta pengerjaan kereta api sumatera yang mematikan itu.

Diperkirakan, ada ribuan pekerja yang meninggal saat mengerjakan proyek kilat ini. Mereka terdiri dari romusha yang dikirim dari Jawa dan daerah lain, ditambah ribuan tawanan perang berkebangsaan Inggris, Belanda, Amerika dan Selandia Baru. Mereka diletakkan di sepanjang  pengerjaan proyek pembangunan. Ada 16 kamp penampungan untuk para tawanan dan pekerja. Tersebar di beberapa titik, seperti Teratak Buluh, Lubuk Sakat, Sungai Pagar, Lipat Kain, Kota Baru, Tapoi, Petai Logas, Lubuk Ambacang, Sungai Kuantan, dan Muara.

Tempat penampungan romusha yang dikenal dengan barak ini, konon hanya fasilitas seadanya untuk berteduh. Bahkan banyak kamp yang dibuat hanya beralaskan tanah, sehingga pada saat hujan tiba, kamp kamp tersebut berlumpur. Selain itu, persediaan makanan dan kesehatan untuk pekerja sangat tidak diperhatikan. Bahkan pekerja banyak yang hanya menggunakan pakaian sehelai. Beragam penyakit menghampiri, apalagi banyak pekerja yang kurus kelaparan dan meninggal di proyek jalur maut tersebut. Gambaran penderitaan ini sebagian terlukis di relief monumen, dibuat untuk mengenang kekejaman romusha Jepang.

Dirintis Belanda
Pembangunan jalan kereta api ini sebenarnya sudah dirintis pemerintah Belanda, saat menjajah Indonesia. Karena medannya yang begitu sulit, proyek pembangunan itu urung dilaksanakan. Jepang kemudian mengetahui rencana tersebut, dan langsung merealisasikan saat menduduki Indonesia. Tapi, proyek ini digesa dengan cara yang ekstrim, mengerahkan ribuan pekerja paksa. Diperkirakan, saat mengerjakan proyek ini, setiap 1 kilometer menelan korban 1.295 jiwa. Bahkan diperkirakan total korban untuk mengerjakan proyek ini mencapai 285 ribu orang, termasuk korban dari para tawanan perang.

Pembangunan rel kereta api ini bukan tanpa alasan, di tinjang dari potensi ekonomi, dua kawasan ini penting untuk dilengkapi infrastruktur, apalagi potensi dan letaknya yang strategis. Sumatera Barat kaya sebagai lumbung beras dan bahan bakar, sementara Riau kaya akan minyak bumi yang saat itu sudah mulai produksi. Di Riau terdapat dua pelabuhan besar yaitu pelabuhan Sungai Siak dan pelabuhan Dumai. Sungai Siak mampu dilayari kapal besar karena kedalamannya, sementara pelabuhan Dumai letaknya strategis bersepadan dengan Selat Malaka.

Melacak Jejak
Sekarang, situs sejarah yang dikenal dengan “Pakan Baroe Death Railway” ini nyaris tak berbekas. Hanya menyisakan beberapa peninggalan, berupa rel, gerbong dan lokomotif. Selain di Simpang Tiga (Pekanbaru), gerbong kereta juga pernah di temui di Kecamatan Sail (Pekanbaru), bahkan sampai sekarang ada juga di Lipat Kain (Kampa) dan rel kereta di Muara Sijunjung (Sumbar).

Bagi pecinta petualangan, ini bisa menjadi destinasi wisata yang menarik. Menelusuri jejak peninggalan masa lalu yang nyaris tak berbekas. Hal ini sebenarnya pernah dilakukan wisatawan-peneliti asal Selandia Baru, yang menelusuri jejak moyangnya yang pernah menjadi POW dan korban proyek tersebut. Peta jalur rel itu hingga kini masih ada, tinggal menelusurinya, ala Indiana Jones yang mencari harta karun. Ada yang tertantang? (*)

Comments :

1
bangas mengatakan...
on 

cobalah bejalan jalan kat sini!!

Posting Komentar