Apalah artinya manisnya mangga, jika elok diluar busuknya di dalam? untuk mendobrak segala sesuatu, kita selalu berharap yang terbaik, namun kita tak pernah memikirkan apa yang kita miliki. Ikutkan resam kedondong, licin di luar, penuh serabut yang merumitkan. Bila demikian, resam apa yang hendak kita ikutkan? resam mangga kah? atau resam kedondong?
Kapal tangker itu berlabuh tepat di dekat perairan kampong tempat tinggalku, anjungan yang tinggi, dengan cerobong asap yang menjulang, juga pekikan kelakson kapal menambah kesibukan kehidupan di kampungku. Tambah lagi irama merdu walet berkicau dan akhirnya hinggap dirumah-rumah megah buatan tangan manusia. Persis hotel berbintang, perumahan walet dibangun tanpa harus resah merogoh saku ratusan juta rupiah bahkan sampai berhutang. Bisnis, selalu saja harus berani berspekulasi, tak kira nanti untung atau rugi. Hatiku membual dalam kesibukan.
Toko-toko kecil, jual alat rumah tangga hingga ke toko pakaian, berderet ditepi jalan, para pengojek tak lupa pula mengikuti aturan yang telah ditentukan sesuai dengan antrian. Siapa yang datang duluan maka dialah yang dapat rezeki duluan. Hal ini berlangsung bebarapa bulan, sebelum “Honda” sebutan lazim orang-orang kampung mulai banyak. Orang-orang kampung tak tau benar dengan spesifik merek motor. Mereka hanya tau semua kendaraan bermotor roda dua disebut dengan Honda. Tapi itu tak jadi buah pemikiranku. Memang kehidupan selalu terikut budaya yang pertama kali berkembang. Tidak hanya dikampungku yang jauh dari hiruk pikuk kota, kampung lain saya rasa juga sama.
Perkampungan walet, sangat tepat untuk gelar kampong kelahiranku. Tidak hanya aku yang terpikir seperti itu, kawan-kawan yang lain mungkin lebih dulu menyebut hal yang sama. “Perkampungan walet” ya itu dia yang tepat “ anggukku dalam hati.
Kadang kala ada juga yang tak senang dengan sebutan “perkampungan wallet”, maklum, takut-takut nanti tercium pula oleh hidung orang-orang yang sinis dengan semua itu, maksudnya dengan menjamurnya rumah-rumah walet di kampungku. Isu flu burung juga membuat orang-orang kampong segan hendak bersuara.
“Mau kemana Bang?” Tanya penjaga loket transportasi menuju ke Kota Kabupaten, dengan logat melayunya. Aku agak tersentak, sedang asyik menikmati kicauan walet dan megahnya rumah-rumah tinggi, bagai hotel tapi rupanya hanya sarang walet, sambil menantikan waktu berangkat ke kota. “Oh ya. Tiket satu, Pak” jawabku.
Dia memberikan sehelai kertas, dan aku memberikan sejumlah uang. Makin mahal rupanya transportasi di kampungku.
Tidak hanya dibidang perumahan saja yang makin maju di kampungku, tapi juga untuk transportasi laut juga sudah memuaskan. Kehidupan orang kampong juga sudah banyak berubah. Tina yang dulu ingusan, kini sudah mulai tampak menarik. Memang dia tak pernah ke kota, tapi oleh kemajuan zaman, Tina bisa berubah. Oh ya mengapa pula pikiranku tertuju ke Tina yang ingusan itu. Apa hubungannya dengan rumah walet dan alat transportasi. Aku sedikit tersenyum dalam hati. Teringin rasanya ketawa, tapi tak mungkin, banyak orang yang akan berangkat serentak denganku pagi itu. Ya aku hanya berusaha tersenyum saja. Meskipun kelucuan itu tak begitu terlepas benar dari perasaanku.
Tapi begitulah rupanya dunia. Perputaran yang telah ikuti koridor, tak siapa yang bisa menghentikan. Tiada yang abadi pula sifatnya lahir, maju, dan mati. Tak dapat berkata apa.
Ketika itu, air pasang naik membanjiri jalan menuju ke laut, maklum selain itu sudah musiman, tambah lagi jalan itu dibuat ditengah-tengah hutan bakau. Di ujung jalan, di tepi tebing sungai air asin, rumah orang-orang kita, juga rumah orang-orang Tionghua dan peranakan. Sekitar dua puluh meter dari bibir tobir pantai ada dapur arang (tempat pembakaran kayu arang), disanalah tempat ayah meletakkan bahunya untuk mencari rezki, bertuan dengan seorang peranakan yang telah lama berusaha kayu arang di kampungku. Ayah tak kira dengan siapa dia bertuan, semuanya untuk keluarga juga untuk biaya pendidikanku. Malam hari pergi, sore besoknya baru kembali lagi, dan itulah siklus pekerjaannya. Rutinitas yang membosankan agaknya. Tapi tak terlihat pula wajah kebosanan itu. Tampaknya itu tak lagi menjadi beban tapi sudah menjadi kewajiban. Ayah hanya bisa beristirahat ketika kayu bakau yang dibakar sudah masak, kira-kira dua bulan atau lebih jangka waktunya dan di punggah untuk mengambil arangnya, itupun kalau dapur arang itu tidak menyalah. Kadang-kadang ayah lebih super jaga kalau dapur itu menyalah, bisa-bisa dapurnya meledak. Ya istirahat Cuma dapat makan siang bersama di rumah saja. Namun merurut aku itu sudah lumayan.
Saat makan siang ayah tak selalu berada di rumah, sejak aku tau dengan pekerjaannya, dapat di hitung dengan jari ayah ada dan makan bersama. Hanya waktu malam hari saja. Karena itu saat waktu makan siang tiba, setelah aku selesai makan siang seusai pulang sekolah, akulah yang selalu mengantarkan makanan siang ayah ke tempat kerjanya. Kadang semangkok nasi dan sepotong ikan ditambah sayur mayur. Oh ya nama ayahku Din dan ibuku bernama Ram. saat itu umur ayah kira-kira lima puluh tahun, itupun aku dengar-dengar dari perbualannya dengan kawan-kawan sebaya sambil memangkas rambut, sedangkan mak berumur sepuluh tahun beda di bawah ayah. Selain seorang buruh tetap penjaga tempat pembakaran arang, ayah juga sebagai seorang pemangkas rambut yang dikenal di kampung.
Disebuah rumah yang tua, air cucur atap tidak lagi tepat ke salurannya, tapi sudah meluah kedalam rumah. Di sanalah sosok tua itu, menggantungkan harapannya. Tapi ayah memang orang yang perkasa dan tangguh di mataku. Tak mengira waktu untuk bekerja, kadang lupa dengan kewajibannya. Mungkin itulah tuntutan hidup. Ditambah emak selalu mendampingi ayah saat malam dan siang tiba. Hilang rasa jenuh katannya ketika ada teman yang bisa diajak berbual-bual. Itulah mak.
“Yah” teriakku. Kira pukul 12.30, tanpak ayah sedang berbaring diberanda depan rumah tunggunya, hanya beralas lengan ayahpun bisa terlelap tidur, tubuhnya yang mulai menua itu tampak dari kerutan kulit-kulitnya, lelah dimukanya terlihat. Kerut di dahinya mulai membentuk alur-alur. Ayahpun dengan perlahan duduk “ini bekal untuk makan siang, agak lama, jalan lecah dan tenggelam” jelasku.
Dengan agak serak basah suaranya, maklum baru terlelap dari tidur ayah menjawab “yalah, sekarangkan sudah bulan besar, jadi air pasang dalam. Tapi dua tiga hari lagi surutlah”. Sambil menggosok matanya.
“Bulan besar? Besar, sebesar apa yah?” tanyaku, maklum masih SD belum tau lagi istilah-istilah yang digunakan orang tua-tua di kampungku. Bulan besar, air naik, air timpas, air menganak sungai, dan entah apalagi istilah air atau istilah laut yang mereka pakai. Melihat aku yang agak gelisah, rupanya ayah tau bahwa aku meminta jawaban secepatnya. Itu terlihat ketika ia tersenyum melirik kearah mataku.
“Bulan besar itu, sebetulnya sebutan lain bulan purnama. Kalau dikau hendak tau bulan besar, kalau malam terang, bulanpun tampak penuh. Kalau di laut semacam siang hari, itulah saatnya orang hendak melanggen1, terang ayah kepadaku. Betul-betul tampaknya ia menjelaskan.
“Itu rupanya, jadi itu yang disebut-sebut orang terang bulan tu yah?” aku mengangguk seakan-akan mengerti.
“Kalau air timpas apa pulak yah?” lagi-lagi aku bertanya. Kalau-kalau ayah berkenan menjawab pertanyaan yang kedua, sebelum ada lagi pertanyaan yang berikutnya.
“Apa betul lah yang membuat dikau bernafsu betul bertanya tentang air timpas pula?”
Seakan-akan ayah tak berkenan tampaknya. Tapi tak diduga lelaki yang ku panggil ayah menjawab juga rupanya. “Air timpas itu artinya, kalau sudah pasang dalam dua sampai tiga hari, maka hari berikutnya tak lah sampai seperti itu lagi” dah jauh turunnya, arus tak kuat lagi dan sebagainya. Sedang untuk mengail, air semacam itu tak ada ikan. Susah nak dapat ikan”.
Lelaki pendek dan gempal itu terlalu paham dengan kehidupan laut, istilah-istilah itu semua ia kuasai. Menurut cerita, sebelum ayah kerja sebagai penjaga tempat pembakaran kayu arang, ia adalah seorang nelayan, dari sanalah paling tidak ia dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang pada zaman itu taklah semahal sekarang, apa pun bentuk barangnya.
Itu cerita silam sebelum aku tau dengan pekerjaan ayahku. itupun karena aku anak paling kecil dari sepuluh bersaudara. Sebagai anak bungsu, kata orang aku sangat disayangi oleh kedua orang tuaku, mungkin benar, mungkin juga tidak. Tapi setahu saya kedua orang tuaku tak pernah, jangankan memukulku, menjentikpun tidak. Itu yang aku tahu. Tak tau sebelum-sebelumnya saat aku masih di alam kanak-kanak, yang kadang sakit dan tawa hampir mirip dan tak terasa, mungkin saja pernah atau juga tidak. Namun aku berharap itu tak pernah terjadi padaku, begitu juga saat aku sudah duduk di Sekolah Dasar.
Tak sadar hari sudah mulai petang, airpun sudah mulai surut. Ayah menyuruh aku untuk kembali ke rumah. Masih banyak hal yang perlu aku lakukan katanya, maklum aku masih kelas tiga Sekolah Dasar. Kadang banyak bermain dari pada belajar. Namun tak selalu aku berbuar seperti itu, maklum masih kanak-kanak, kalau tak main gasing main guli, kalau tidak main didekat sungai, atau main di parit di depan rumah tetangga dengan teman. Setelah hampir senja berlarian balik kerumah, itupun kalau sudah ditegah warga. Terlalu manis untuk dikenang.
Akupun, balik, mengikuti jalan yang penuh lecah dan berair, sudah biasa jadi tak bermasalah. Jalan di atas pantai, bila pasang keling tiba hilanglah ia, berjalan di atas air pula kita dibuatnya.
Hari semakin gelap. terlihat beberapa orang sedang menjemput ternaknya, itulah kegiatan sehari-hari yang dilakukan orang-orang kampungku. Lain pula dengan ayahku. Kerjanya hanya sebagai penjaga tempat pembakaran kayu arang. Tapi tak dapat disangkal kalau pekerjaan itulah yang memberi makan keluarga dan biaya pendidikanku.
Tiba di rumah, hari telah mulai gelap, naungan ayat suci Al-qur’an menggema di surau yang tak jauh dari rumahku, pertanda magrib beberapa menit lagi akan tiba.
Lima menit berikutnya ayah tiba, dan ia bersegera mengambil handuk dan pergi ke perigi2 untuk mandi, sebab sekejap saja lagi magrib tiba. Naung suara mengaji dari cerobong mik mesjid tua itu membuat suasana kampung jadi terpaku, hanya beberapa orang saja yang masih berkeliaran di jalan.
Aku sudah siap-siap untuk ke mesjid, pakai kopiah agak miring, baju kurung melayu, pakai kasut3 jepit, dengan kawan-kawan sebaya.
1) Menangkap ikan menggunakan jala
2) Kamar mandi
3) sandal, terompah
Jasman
Pekanbaru 15 Mei 2008
Comments :
Posting Komentar