Bismimu Gaduh

Es.beno
Selayar gamis kau pakai pada hari itu, padahal kau tidak di tanah Arab, melainkan di Indonesia yang sejak dulu leluhurmu suka bertelanjang badan. Orang Jawa menyebutnya tanah luhuran. Tanah yang tak hanya harus dihormati, namun lebih dari itu. Leluhur bukan hanya soal jasad yang sudah tiada, tetapi soal karma yang hadir saat ini. Ia mempengaruhi nasib hari ini, semacam reinkarnasi. Makanya ia tak bisa diremehkan, harus dielukan, walaupun jasadnya telah tiada. Benarkah?

Dengan pakaian ini kau tampak tampan, dilengkapi dengan blankon putih dan ikatan sorban yang kau lilitkan di kepala. Saat berkaca, senyum simpulmu yang manis tersungging. Menguntit kekaguman. Perlahan kakimu kemudian melangkah. " Bismillahi tawakkaltu ilalallahu lahaw lawalla," bisikmu lirih.

Sampailah kau di deretan orang-orang yang menjadi tujuanmu. Disini sapaan anehpun bercampur baur menyerangmu. Seumpama nabi, kau tetap tabah, kau yakin dengan apa yang kau lakukan. Cemoohan tak kau hiraukan, wajah-wajah dongkol itu malah kau dekati. Inilah cirimu, menerima tantangan tanpa takut, tanpa rasa dan tetap berkeyakinan.

Berkisahlah dirimu dengan banyak orang tentang apa yang terjadi saat ini. Cerita tentang alam, rusaknya tatanan dan berderet kisah perih kau tatarkan pada para pendengarmu. Kata-katamu sedaya upaya kau paksakan masuk ke genderang pemikiran dan pendengaran. Berulang kali, panjang lebar sampai kata-kata itu menyentuh hati. Karena kau yakin hatilah kunci segalanya, pemilik sebenarnya jiwa raga seseorang. Dia ibarat lobus temporal pada inti atom, yang akan memancarkan gelombang elektromagnetik sehingga membuat lintasan gerakan yang mampu membangkitkan energi yang maha dahsyat. Dan kau yakin itu, terus yakin dengan segala ketabahan jika apa yang kau lakukan malah berbuntut gunjingan kepadamu.

Maka semua yang kau lakukan berarti ketidak pedulian, kau hanya berharap hatinya akan berubah seperti hatimu dan pemilik hati menyambutnya dan memutarbalikkan sesuai fitrahnya. Bukankah jasad ini belum jadi mayat, begitukah pikirmu? "Maaf tuan jika ada kesalahan, itu salah lisanku yang hina ini, tapi jika benar ini semata dari Tuhanku. Aku senang pertemuan ini," penutup dalilmu kau tujukan pada anak muda yang sedari tadi di depanmu. Yang sedang sibuk berbenah, menyortir rongsongkan perkakas elektronik yang mau diperbaiki. "Apa tuan tidak mendengarku?" panggilmu. Anak muda itu menoleh, matanya menyusuri gaun gamis yang sudah lusuh yang kau pakai, kemudian ia mengangguk, memastikan. Tak lama bibir anak muda ini berucap, "Maaf Pak, aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, aku tak mengerti." Kau terkejut dengan ucapannya. ”Bukankah aku lafalkan tadi ayat-ayat Alqur'an kau tak mengenalnya,” desakmu. Nadamu meninggi. Anak muda itu kembali berujar, "Jangankan wiritanmu itu, aku sendiri tak mengenal siapa Tuhan sebenarnya. yang membuat bencana yang kau sebutkan, yang menyediakan surga, yang melaknat manusia, yang kemudian menyanjung siapa yang dikehendakinya, siapa yang tahu itu murka dari yang Maha". Matamu terbelalak, kau pertanyakan dimana iman orang di depanmu itu, kau terpana. "Maaf tuan, apa tuan beragama sama dengan ku?" Anak muda itu mengeryitkan dahinya, sunggingan senyum nya melebar. "Maaf tidak, Pak. Siapa yang kau kira beragama saat ini, bukankah itu dilakukan oleh mereka untuk cari selamat dirinya saja, bagi makhluk-makhluk tak percaya diri. Bukankah agama saat ini hanya dijadikan alasan menapak status belaka, biar diterima di masyarakat. Kau sebutkah mereka beragama? Padahal Tuhan mereka entah siapa. Aku rasa beda, bukankah sikap menggambarkan makna keyakinan? Dan aku rasa kau juga. Kau lakukan ini karena kau miskinkan? Karena kau tidak punya pekerjaan? Benarkah bukan agama yang mengawalinya?" Kau terdiam, walau lama kau dengarkan repetannya. Sesudah itu kau tinggalkan.

Alangkah malangnya nasib bangsa
alangkah tidak tahu siapa diri mereka
yang tidak paham di mana mereka berada
dan tidak tahu kemana mereka pergi

alangkah malang nasib bangsa
yang buta matanya tak sembuh-sembuh
yang membuang-buang kebenaran
yang membenar-benarkan kebatilan
yang sibuk mencurigai kebaikan
dan mengulum-ngulum kebusukan

ampun ya ampun alangkah malang
nasib, bangsa yang ilmunya kesesatan
dan ruhnya kegelapan
yang sekolahnya kebodohan
dan teknologinya kemubaziran
yang organisasinya penghancuran
dan pembangunanya kesia-siaan
yang ideologinya halusinasi
dan informasinya kebohongan*1)

Kerlingan ingatanmu terhadap anak muda kemaren sore itu sungguh menusuk daya pikirmu, di depan kacamu yang retak kau perhatikan lagi wajahmu yang separuh abad ini, kau heran. Tak pernah terlintas pikiranmu tentang apa yang pernah kau dengarkan. Penolakan kebenaran. Penghilangan kepercayaan akan Tuhan ada didekat telingamu. Sudah serendah inikah kepercayaan orang-orang di sekitarmu? Marasuk dikotamu yang kecil, tanah melayu ini. Apakah ini kibasan alaf baru yang didengungkan pada dasawarsa abad XIX. Saat engkau baru membelalakkan mata, dan hal Itu sudah ada. Marxismekah ini, sosialiskah, liberaliskah atau anak ini hanya mencoba menyetir keortodokan orang-orang disekitarmu? Dan mungkin dirimu. Matamu menerawang, mencari cari serasa Ibraham melihat keluar masuknya bintang dan bertanya siapa penciptanya, seperti Muhammad yang berkurung di Hira bertahun-tahun meyakinkan memang ada sang pencipta. Dan coba meneruskan jalan kebenaran.

Dan gusar dirimu melihat anak muda itu. Apakah ia Sujatmiko*2) yang diduga tak percaya adanya Tuhan itu. Atau iakah Muhidin*3) atau Dan Brown*4) sang manusia penggelitik ritual ketuhanan.

****

Siang hening sesudah mengaso, kau rapalkan lagi wiritanmu. Tak lama kau keluar dari bilik kamarmu, warta semilir terdengar. Si Tipan diduga korupsi sekarang diadili. Tipan adalah sang guru yang sudah bertitel haji, yang pernah memakai gamis ihram yang mulia. Ah bosan aku mendengar ini. Sudah tabiat di negeri formatur ini. Yang menganut agama, tapi tak sadar apa yang jadi Tuhannya. Kepercayaannya adalah buah bibir. Dimana agama mereka? Simbol sajakah semua? Dan apalah artinya itu, bukankah simbol kadang jauh dari makna, seperti Nazi yang mengambil simbol dari swastika agama Hindu atau agama Kristian yang mengambil simbol dari Mesir. Ah simbol tak jauh dari kamuflase saja. Bukankah tak hanya manusia yang berakal yang mampu melakukan ini? Banyak benda hidup lainnya yang laku berkamuflase untuk bertahan hidup. Simbol susah dikuak bukan? Robert Langdon saja, simbolog tersohor dunia pernah gaduh menguak simbol iluminasi yang diyakini pemilik sang pemuja setan, padahal intinya terkumpul dari para cendikiawan pencari kebenaran.

****
Malam pekat. Berita lain kau dengar, berita yang lebih mengerikan. Wak Idol dikeroyok warga, mau dibunuh, dan harus dibunuh. Perilakunya begitu bejat. Anak gadis semata wayangnya tenyata dimakannya, ditindih sepuas puasnya. Pahahal tulangnya tak lagi kuat menahan nafsu yang lesat meradang itu. Otaknya seperti tak jalan.

Dan kau pun berlari, mau memastikan warta yang cuap-cuap dari mulut ke mulut itu, sedigital telematika itu. Dan kenyataannya, berita itu benar. Wak Idol pun sudah dihajar, lebam matanya. Darah meleleh dari dua belah matanya, kakinya lemas. Namun rencana pembunuhan sempat terhalang, dua polisi bergegas datang. Permintaan warga untuk mengadili yang disangka bejat ayal terhalang.

Kau mendekat, mendekati Wak Idol yang semaput menahan sakit. Celaka, ia tersenyum tersungging. Merasa benar dengan apa yang sedang ia lakukan. ”Astagfirulllah Dol, aku tak nyangke ini kau lakukan,” kau bergeleng dan melafalkan itu berkali-kali. Wak Idol tersungging. Bibirnya berucap, ”Apa yang harus kulakukan, coba kau jawab. Haruskah anak Udin penjual cidi tu yang harus ku ganyang, haruskah anak Simat yang selayarnya terdedah di jalan itu yang aku paksa, aku hanya bisa..”.

Plekkkkk...kau tampar bedebah di depanmu sekuatnya. Wak Idol terdiam. Matanya terbelalak, darahnya keluar lagi. Dan polisipun mencegahmu. Menyelamatkan Wak Idol yang sekarat. Suara warga gaduh, saling menggerutu polisi. Ingin mencengkeram Wak Idol. Mereka tak ubah juga dengan si jalang, buas tanpa sadar.
***
Malam hening yang menusukkan pori-pori arimu dengan kedinginan, di medionya kau kembali berpikir. Kau salah sangka selama ini, ritual spiritual hanya sebuah kedok. Bukankah Bang Idol tiap malam jum’at ikut wirid? Bukankah Tipan Haji itu juga pengurus masjid? Betul juga pemuda gondrong yang kau lihat beberapa waktu lalu. Banyak orang bertuhan tidak pada satu zat, bertuhankan pekerjaan, bertuhankan uang, bertuhankan jabatan, bertuhan pada kesombongan diri sendiri dan semua yang jadi tujuannya. Dan apa yang dilakukan dirimu? Hanya membesarkan ritual spiritual itu kah? Hanya dengan bermodal gamis kau tiupkan ayat-ayat mulia Tuhan? Bukankah kau khalifah, sang penguasa yang dituntut banyak berbuat? Tidak hanya berperbankan gamis, kopiah, jambang, peci, dan gelar haji.

***
Batinmu gaduh, diobok-obok alam pikiranmu yang rada pikun. Ragukah kau akan jalanmu? Kau ambil kacamu kembali. Kau cukur sehabis habisnya jambangmu. Kau tak lakukan ritual saban harimu dengan membaca wahyu terakhir yang dibawa Jibril pada nabimu. Kau berpikir hanya ingin bertemu Tuhan, bertemu dan bercerita banyak tentangnya, tentang kebenaran sebenarnya. Tanpa gamis, tanpa sorban dan membopong kebenaran hakiki, punyakah anak muda itu jalan?

Sepaginya, tergopoh-gopoh engkau menyetop angkot yang beredar di kotamu, yang kau inginkan tentu menuju suatu jalan. Jalan yang seminggu lalu dimana kau ditatar dengan sebuah pertanyaan. Diperempatan gang itu, terhimpit pasar kota kau merengsek kesana. Sejurus matamu menatap dalam si pemuda jangkung itu. Kau ucapkan kata-kata sapaan, pemuda itu biasa saja. Senyumnya juga tak istimewa. ” Bisa aku bantu pak?” tanyanya. Kali ini sebuah televisi yang ia otak-atik. ”Mau menghantar atau mengambil?” tanyanya lagi. Kau terdiam agak lama. ”Maaf tuan, mungkin kau lupa. Aku pernah bertemu denganmu, sepekan yang lalu,” kau berpikir dungu. Membatin apa yang terpikir si pemuda itu. Mungkin ia lupa dengan diriku, yang sepekan lalu datang dengan gamisku, berparas jambang.

”Ya ya, aku ingat siapa bapak? Kau..” ia menerka. Dan kau tertawa, Menggelegar tanpa makna. ”Apa hajatmu, kau ingin menceramahiku?” ungkapnya datar. Kau terdiam dibalas dengan kernyitan dua bahumu. ”Aku hanya bertanya,” jawabmu lirih. Tak lama dia membalas, ”Tentang apa, tentang pekerjaankah atau tentang alat-alat inikah?” ia menduga-bertubi-tubi. ”Tidak tuan, aku hanya ingin tahu apa keyakinanmu, ketika kau katakan kau bingung siapa Tuhanmu.”

”Ehm,” dia berdehem. Lalu bertanya beberapa hal yang diharapkannya kau berpikir. ”Jika semua mengaku Tuhannya yang paling benar, bagaimana saya memilihnya, dan saya tentu bingung memilih siapa Tuhan yang berhak aku putuskan menjadi Tuhan. Dan aku merasa seram ketika semua orang mengatakan ini jalan yang benar namun berbalik saling menghujat. Kebiasaan yang terus dipelihara, diternak dan beranak pinak tidak pernah ada jalan penyelesaian,” ungkapnya menggelitik.

”Kau masih mau tahu siapa Tuhanku pak,” diapun berucap bahwa dia ingin bertuhan seperti nabimu. Tapi siapa yang bisa merafalnya dengan jelas. Tapi bukankah jalannya sudah kabur, banyak diramu dengan saweran ketika menyajikan ucapanya, bukankah syair sucinya untuk pemanis kidungan wiritan saja, siapakah makhluk yang bisa dipercaya sekarang? gugatnya. Dirimukah bapak? tanyanya. Dia tidak percaya. matanya penuh selidik dan bertanya kembali, ”Bukankah kau sudah terjebak kebiasaan saja?” Dia minta kau jawab itu.

Kau tak jawab seketika, kau hanya terdiam. Yang kau cari jauh dari harapan. Pemuda ini memang sedikit bajingan, ia terus terang tidak kenal dengan Tuhannya. ”Lamat-lamat kau berpikir kau pun berbuat sesuatu,” cakapmu berbaur jadi sebuah wejangan. Kau ajak dirinya bercerita lebih panjang, tentang makna Tuhan, makna kebenaran yang menguat untuk dilakukan. Kau biarkan ia bercerita, melintas dunia dan akhirat dengan sebuah pemaknaan, pengungkapan simbol-simbol kehidupan.

Sampailah kau dan dia mengambil makna dari kebiasaan yang kau lakukan di hadapanmu. Ketika kau sentuh perkakas elektroniknya itu, yang di intinya kau bahas ada aliran yang membentuk lingkaran lintasan. Kau ajak dia berpikir bukankah ini lintasanya istimewa. Kau sadarkan ia dari bagian terkecil zat benda itu, ”Bukankah itu namanya elektron?” tanyamu. ”Tahukah kamu elektron ini berputar membentuk searah jarum jam? membentuk 3600? Bukankah gerakan ini sama seperti orang berhaji mengelilingi ka’bah, kewajiban yang dipersuruh oleh Tuhan pada Ibrahim, bukankah sama putarannya dengan bumi yang bisa dilihat dari berbagai teori galaksi bahkan teori tercanggih tentang galaksi saat ini? Bukankah putaran alam ini semua sama seperti teori bintang Hobble yang fenomenal itu? Putaran galaksi ini sama sekali tidak meleset gerakannya seperti gerakan ritualmu ketika kau sholat yang diwajibkan Tuhan, perwujudan sembahmu itu? Bukankah ada yang Maha Penggerak dan pengatur disini, dan dipastikan ia tentu zat yang mestinya satu*5)?” Rentetan pertanyaan itu tiba tiba saja keluar dari lisanmu, padahal semula otakmu tak memikirkanya. Yang semula hal tersebut tak kau pahami, tak juga ia pahami dan tak mereka pahami. Pahamkah engkau kini tuan, kalau tuhanmu banyak, kalau tuhanmu elektronik ini, mampukah ia punya insting yang sama dengan alam? ”Ya, sungguh benar, tetapi kenapa kau tanggalkan gamismu bapak?” tanyanya.

”Dan tidak bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba-Ku. Dengan suatu yang lebih kusukai dari pada menjalankan kewajibanya. Dan tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunah –sunah nafilah, Sehingga Aku mencintainya. Dan Aku sesudah mencintainya, Aku menjadi pendengarnya, yang ia melihat dengannya, dan Aku menjadi tangannya yang ia pergunakan untuk bertindak, dan Aku menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta dengan-Ku, niscaya Aku beri. Dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya.*6) (Prapto/BM) Mahasiswa Faperta Unri
pernah dipublikasikan di Surat kabar Kampus Bahana Mahasiswa dan di website www. Bahanamahasiswa.org
*1) Kutipan Puisi Emha Ainun Najhib, dari buku Doa’ Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan Kenduri Cinta. Sebuah trilogi.
*2) penulis Sosialis Indonesia
*3) penulis trilogi. Salah satunya Tuhan Jadikan Aku Pelacur
*4) penulis best seller internasional Da Vinci Code, Malaikat dan Iblis
*5) terilhami dari buku ESQ Power, Ary Ginanjar Agustian
*6) Hadis Qudsi, HR Bukhari




Comments :

0 komentar to “Bismimu Gaduh”

Posting Komentar