Yang Terasing, Yang Terlupa

Es beno (bangas bersorak)


(Foto saat membawa bantuan ke suku Asli di Desa Selat Akar, melintas sungai, tapi tetap tersemyum..daku yang jadi tukang foto saja bro..hehe)

Menyusuri pesisir Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Indragiri Hilir (Inhil) sering kita temukan hunian-hunian sederhana di tepi laut. Bentuknya tak istimewa, terkadang jauh pula dengan hunian-hunian yang lain. Rumah-rumah itu seakan menyendiri, menyepi dari keramaian.


Begitulah kehidupan suku suku asli di daerah,  dan di Riau kebanyakan. Mereka menghuni pesisir-pesisir pulau, berkawan dengan tebing dan ombak. Serta bersahabat dengan dinginnya angin laut yang menusuk dan teriknya matahari jika memanas. Jika dilihat, mereka seakan hidup terbelakang, rumah rumah mereka hanya beratap daun rumbia dan berdinding kayu, tak ada ukiran-ukiuran. Rumah yang cukup untuk bernaung, berteduh dari panas dan untuk melelapkan mata jika mengantuk.

Di dalam rumah, semua peralatan untuk memburu sangat cukup, seperti jala, pancing, jerat, parang dan alat alat buru lain. Hidup mereka sederhana, tapi selalu bergumul dengan ritual ritual mistik, cara untuk bersetubuh dengan alam, mereka animisme.

Kalau di pesisir daerah Bengkalis dan Kepulauan Meranti, ada beberapa suku terkategori terasing seperti Suku Sakai, Suku Laut, Suku Akit, Suku Bonai, Suku Hutan. Keberadaan Suku Sakai berada banyak di daerah Mandau, sejak daerah ini sering dieksplorasi minyak dan gas, advokasi kehidupan suku terasing Sakai mulai mendapat perhatian serius. Mereka tidak lagi menjadi bagian yang terasing, sejak rumah rumah mereka dijarah dijadikan kawasan kawasan pertambangan minyak. Selalu mendapat bimbingan sehingga pola hidup mereka pun mulai berubah mengikut kultur modern. Anak anak Suku Sakai sudah banyak yang bersekolah, bahkan kehidupan mereka sudah terlihat sejahtera. Tapi masih tak lah semuanya, masih banyak kami temukan suku Sakai yang berada di pinggir pinggir hutan, menusup dalam rimba yang terasing.

Kalau suku akit, di Bengkalis juga cukup banyak. Mereka menetap di tepi tepi laut. Kehidupan mereka mencari ikan, menakik karet dan menebang sagu. Kebanyakan mereka juga sudah mulai tersentuh peradaban masa kini, terutama bagi yang mau berkembang, mereka juga berintraksi dengan suku suku lain. Tapi kedupan mereka masih sangat tradisionil, mereka sering memelihara anjing, babi dan binatang-binatang ternak lain. Rumah mereka sederhana, berdaun rumbia dan dari kayu seadanya. Mereka percaya pada tahyul dan benda benda keramat seperti pohon besar dan tempat-tempat untuk persajian.


Mereka  banyak yang tidak sekolah, terutama jika berada benar benar di tepi tepi laut yang jauh dari pemukiman. Hidup mereka hanya mencari ikan, kalau pun ada yang sekolah, kadang tak sampai selesai. Mereka banyak yang putus ditengah jalan, wajar itu terjadi, mereka tersisih dalam pergaulan. Sehingga mereka secara alami terseleksi oleh lingkungan itu sendiri, apalagi orang-orang laut ini kadang tidak bersih, mereka selalu disebut Orang Sampan atau Orang Tambus (bau dan kotor). Sebutan diskriminatif ini sering muncul.

Ada yang unik dengan suku Akit ini, dalam sebuah tulisan jurnalistik kak Evie R Syamsir, kak Evie ini sekarang Kepala kantor Perwakilan ANTARA, kantor berita nasional di Pekanbaru. Beliau ini senior lah, tulisan featurnya banyak kita temui. Beliau ini pun yang pernah menyusuri ceruk ceruk kampung, bahkan ceruk ceruk hutan dan pedalaman. Dalam tulisan "Bedak Limau" Penonak Bala Ala Suku Asli ia paparkan. Suku Akit ini punya kebiasaan ritual tiap tanggal 15. Ritual itu disebut bela (memelihara). Tiap tanggal 15 bulan. 15 bulan ini tentu menurut hitungan arab, sebab penanggalan Arab ditentukan dengan masa perputaran bulan mengelilingi bumi, mereka menggunakan penanggalan ini. Saat bulan ke 15 ini mereka melakukan ritual bela ini dengan membedaki badan dengan bedak limau. Bedak limau ini dipercaya untuk menolak balak, pada waktu itu mereka pun tidak dibenarkan utuk bekerja.



(foto saat membagi bagikan bantuan....gembira juga melihat warga bersuka cita dengan pemberian yang sederhana ini)

Jadi yang melakukan bedak limaiu itu laki-laki dan  perempuan, besar atau kecil, mereka membawa bedak limau ke sumur keramat dan mandi di situ. Bedak yang mereka gunakan terbuat dari beras, yang telah direndam beberapa hari yang kemudian ditumbuk jadi tepung, rasa bedak ini seperti bedak sejuk. Kemudian bedak ini ditambah limau, berupa irisan jeruk purut ataupun jeruk nipis yang dicampur air dari sumur keramat.

Sepertinya ritual semacam ini juga mentradisi di daerah lain, tapi waktunya berbeda, seperti di Kampar dan Pekanbaru, saat sehari memasuki bulan Ramdahan, yang istilahnya dengan subutan Mandi Beliamau. (Tradisi ini setiap tahun ramai, kalau waktu waktu Belimau, Jalan Pekanbaru_Kampar bisa macet total. Ini semacam wisata baru, tradisi yang dipakai pun sudah mengalami pergeseran).

Buang sial ini, kata penduduk kampung, tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keselamatan satu kampung. Biasanya sumur yang digunakan tidak sembarangan, sumur sumur tua ini pun selalu mereka keramatkan, jika waktu waktu tertentu, mereka memiliki hajat sesuatu, mereka pun memohon dengan sumur itu, mereka letakkan sesajian, membawa berbagai bentuk juadah seperti buah-buahan ataupun kue wajit dan apam yang ditempatkan di bawah pohon.

Tidak hanya itu, suku yang disebut juga suku Asli ini juga mempunyai hari perayaan besar. Tiap tanggal 27 bulan Ramadhan, setahun sekali mereka melakukan kenduri arwah, mereka menyebut dengan malam tujuh likur atau malam ke-27. Jadi saat perayaan ini berlangsung, samalah dengan suku Melayu lain mereka memasang colok (lampu pelita) di setiap rumah mereka. Penerangan lampu colok itu menghiasi kampung hingga malam takbiran.

Mereka percaya, saat malam ke-27 itu merupakan saat melaksanakan ritual memberi makan arwah. Setiap rumah penduduk pada malam di penghujung bulan tersebut menggelar kenduri dan halaman rumah mereka diterangi dengan colok. Mereka memasak makanan yang sedap pakai rempah. Semakin bau wangi masakan, merupakan pertanda bahwa niat baik kami terhadap arwah nenek moyang direstui.

Suku Asli di Bengkalis masih banyak, suku ini juga bermukim di daerah Pulau Padang, Dedap, Kudap, Bandul, Selat Akar dan daerah daerah pesisir Kepulauan Meranti. Saat Lebaran lalu kami sempatkan berkunjung salah satu pemukiman suku Asli di Desa Selat Akar, Kecamatan Merbau, Kepulauan Meranti, bersama paman ku, Taslim Prawira serta Abdul Haris. Paman Taslim, memang aktivis sosial, ia sebagai perantara melakukan pendampingan di suku suku terasing. Yang selalu disana Abdul Haris, guru Bahasa Inggris. Dialah yang melakukan pendampingan. Pendampingan ini memang belum optimal, tapi langkah sederhana yang mereka lakukan sudah tepat, sehingga saat saat tertentu, jika terjadi sesuatu peran pendamping ini sangat dibutuhkan, meskipun apa yang dilakukan pendamping ini secara perlahan lahan.


    (anak anak Asli,,mereka lugu dan polos)

Pada saat Raya Idul Fitri kemarin, kami sempat menyalurkan bantuan kapada beberapa warga. Bantuan yang kami berikan berasal dari Rumah Zakat Indonesia (RZI), bantuan berupa baju baju layak pakai dan Alqur’an. Maklum orang orang suku Asli ini sebagain baru memeluk Islam. Jumlahnya ada puluhan. Kami disambut Kepala Desa Selat Akar, Kadi dan Imam Mushalla setempat, dan warga tentunya. Menuju Desa ini tak terlalu jauh dari kampung, kami melintas Sungai, pakai sampan lalu menempuh setengah kilo perjalanan.

Saat sampai, hatinya terhenyuh, sebab anak-anak suku Asli yang lain berkerumun menonton kami, sementara bantuan yang kami berikan tidak begitu banyak, itu pun untuk suku Asli yang baru muslim, sementara mereka juga saya rasa sangat membutuhkan. Mereka datang dalam keadaan sangat lecun, seperti yang disebutkan tadi, (Maaf terlihat jorok dan berbau)...betul-betul rasa simpati menyentuh, kulitnya hitam, bertelanjang badan dan banyak yang berjalan tanpa alas kaki.

Saat itu, sedikit kabar menyenangkan dari Kepala Desa Selat Akar, Pak Amir. Ia menyebutkan sebentar lagi kampung ini dapat bantuan rumah untuk warga pra sejahtera. Sebagian ia janjikan untuk orang-orang suku terasing ini. Aku pun tak merinci untuk siapa siapa saja rumah itu, tapi memang mestinya orang-orang suku terasing inilah yang harus dapat prioritas, apapun agama mereka saat ini.

Oh ya balik ke cerita suku suku terasing di Riau. Masih banyak kondisi suku suku terasing yang belum diperhatikan. Kalau di Inhil yang terkenal dengan suku Duano, mereka juga menetap di laut, rumah mereka berada diatas pantai, bersambung sambung dengan rumah yang lain. Tepatnya seperti kampung Nelayan. Orang Suku Duano terkenal dengan tradisi Menongkah, menongkah ini yakni cara menangkap kerang. Menangkap kerap dihamparan pantai yang penuh lumpur dengan alas kayu. Tangkapan kerang suku Duano terkenal. Bahkan pernah pulak saya sampai ke Guntung, daerah paling Selatan Inhil, kawasan yang memikat juga, disini banyak juga kerang dan ikan ikan tangkap dari laut, kalau kerang yang terenal, dengan kualitas kerang yang berisi ya kerang dari tangkapan Duano ini.

Di tempat lain,, suku Asli yang masih dilupakan adalah suku Talang, berada di ceruk ceruk hutan. Banyak ditemui di Indragiri Hulu (Inhu) berada diperbatasan Jambi yang menyusur di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Alhamdulillah beberapa kali ekpedisi saya dibawa kesini. Suku Talang Mamak yang terkenal, dan suku suku Talang lain kabarnya juga ada. Mereka hidup seakan sudah bersetubuh dengan alam, mereka ini pun punya tradisi yang unik, misalkan dalam waktu waktu tertentu (maaf saya lupa nama ritualnya) semacam musim kawin, mereka membolehkan anak anak lajang mereka berkumpul sesama memilih pasanganya, setelah sesuai baru melakukan akad perkawinan. Ritual perkawinan juga mengunakan kadi dan saksi, mereka animisme kepercayaanya  bercampur campur.

Tentu saja tak semuanya yang masih seperti ini, yang berada di daerah luar, yang sudah bersentuhan dengan suku suku lain. Kehidupan mereka berubah, mereka ada yang sekolah, tapi bagi yang jauh, tentu banyak yang belum menikmati pendidikan. Guru dan sekolah sekolah mereka masih sangat terbatas, tak semua guru yang mau mengajar di tempat tempat pedalaman. Berinteraksi dengan suku-suku langka yang penuh kesabaran, dan mungkin harus dilakukan dengan dedikasi yang utuh, sebab tak mungkin mereka bisa mendapatkan balasan materil yang cukup saat mengajarkan orang orang yang masih terasing ini.


Butuh kebijaksanaan yang dingin menjadikan mereka bagian kita

Sekarang mereka hidup dengan tradisinya sendiri, tak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Bahkan tradisi dan ritual yang mereka lakukan lebih kuat dan mengakar ketimbang kita yang sudah dibimbing dengan berbagai pandangan hidup yang lebih modern. Mereka malah banyak yang menyikapi hidup dengan arif, membuat larangan-larangan tertentu karena memang ada kaitanya dengan sensifitas alam yang bisa menyebabkan kerusakan kerusaka. Naluri mereka tentang hidup dan selera alam sangat kuat, ia merasakan seakan alam bisa diajak bicara,  misalkan dari tanda-tanda alam itu sendiri, dari -bunyi bunyian burung, atau kayu sekalipun.

Cuman yang harus kita lakukan adalah membimbing mereka, dan tidak membiarkan mereka menjadi terasing disudut sudut pulau, atau dihimpitan hutan yang luasnya makin mengeciil. Mereka harus dibekali tulis baca untuk menghadapi persaingan dengan yang lain. Kita tidak menginginkan dan membiarkan mereka terbelakang.

Alamdulillah, setiap tahun alokasi angaran untuk membangun suku terasing makin banyak. Cuman kalau muncul pertanyaan, apakah anggarann yang besar itu sudah sampai semua kepada mereka, ini yang harus sama sama kita waspadai. Jangan sampai pula karena mereka terbelakang, mereka hanya dijadikan bagian untuk ekspoitasi program saja, realisasinya nihil.

Tahun ini alokasi dana APBN untuk dekonsentrasi Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Riau meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2007 anggaran pemerintah mencapai Rp 2,7 miliar, 2008 mencapai 2,3 miliar dan 2009 ini naik menjadi Rp 2,8 miliar lebih. Anggaran tersebut akan dipergunakan untuk pemberdayaan KAT seperti sertifikasi lahan, pembangunan ramah, pembuatan sarana air bersih dan beberapa kegiatan pembangunan lain.

Asisten III Bidang Administrasi Umum Pemerintahan Riau Ramli Walid mengatakan, untuk mewujudkan pemberdayaan KAT ini, peran daerah sangat menentukan karena proporsi pengaturan KAT ini juga lebih besar. Ini sesuai kewenangan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota.

"Pemerintah pusat di sini hanya memberikan fasilitas dukungan anggaran untuk memberdayakan. Melalui program dekonsentrasi 2009," kata Ramli.

Ramli menyebutkan, anggaran KAT untuk Riau ini merupakan anggaran yang terbesar dibandingkan dengan beberapa provinsi lain. Dana tersebut akan diperuntukkan bagi pembangunan di 68 Desa dan 31 Kecamatan di enam kabupaten di Riau yakni Bengkalis, Indragiri Hulu (Inhu), Indragiri Hilir (Inhil), Rokan Hulu (Rohul), Pelalawan dan Siak.

"Dana KAT ini untuk pemberdayaan suku pedalaman seperti suku Sakai di Bengkalis dan Siak. Suku Akitdi Bengkalis dan Pelalawan, suku Bonai di Rohul, Suku Talang Mamak di Inhu dan Suku Laut atau Duano berada di Inhil," ujarnya.

Untuk itu, tambahnya lagi, dana KAT yang cukup tinggi ini selayaknya terealisasi secara optimal. Sehingga kualitas hidup dan kesejahteraan masyakarat KAT saban tahun berubah menjadi meningkat. "Kita ingin meningkatkan taraf kesejahteraan sosial mereka dengan tetap memelihara sosial budaya, kearifan lokal dan mengatasi keterpencilan secara geografis. Misalnya dengan memberikan bantuan perumahan, jaminan hidup, peralatan kerja dan bantuan usaha. Biasanya bantuan ini kita berikan tiga tahap.

Kepala Dinas Sosial Riau Raja Lukman Mat juga mengatakan, jumlah populasi KAT di Riau masih banyak. Sehingga komunitas yang tersisa tersebut perlu diberdayakan dan ditingkatkan taraf hidupnya. Tahun 2009, dari sekitar 11.988 populasi KAT di Riau yang belum diberdayakan sebanyak 8.719 populasi.

Di Kabupaten Bengkalis jumlah KAT mencapai 5.516 populasi yang belum diberdayakan sebanyak 3.891, di Indragiri Hulu (Inhu) jumlah KAT mencapai 3.165 dan yang belum diberdayakan sebanyak 2.465 orang, di Indragiri Hilir (Inhil) sebanyak 952 dan belum diberdayakan 471 populasi, di Rokan Hulu (Rohul) mencapai 1.916 populasi yang belum diberdayakan 1.549 populasi, di Pelalawan mencapai 324 populasi yang belum diberdayakan mencapai 247 populasi, dan Siak sebanyak 125 populasi yang akan diberdayakan tinggal 69 populasi.

"Yang menjadi permasalahan saat ini masih rendahnya pemahaman aparat daerah tentang program KAT. Sehingga program pemberdayaan cendrung tidak sesui yang diharapkan. Selain itu SDM pendamping orang lokal sulit dicari karena umumnya warga KAT berpendidikan rendah," kata Lukman Mat.

Setelah didukung program pemerintah, tentu kita mengharapkan mereka mendapat perhatian serius. Kalau saja masih banyak penyelewengan program itu, itu merupakan tanggung jawab pemerintah dan tentu saja  anggota dewan yang terpilih, mereka bertugas untuk mengawasi program program itu..(*)

Comments :

6 komentar to “Yang Terasing, Yang Terlupa”
kang Marno mengatakan...
on 

mudah2 han desa itu menjadi desa yang maju

attayaya mengatakan...
on 

mari bantu sesama
mereka tidak terpencil dan terkucil
mereka hanya belom ada kesempatan

qayahati mengatakan...
on 

ternyata sodara kita yang kekurangan masih banyak juga ya...moga di tahun-tahun ke depan kehidupan mereka lebih baik..ayo bantu mereka..

muslim-kaya mengatakan...
on 

Subhanallah, menarik sekali ceritanya bang...., jazakumullah tlah berbagi inspirasi untuk hari ini....., smoga tetep istiqomah dalam berbagi hikmahnya, salam kenal dan smoga tetep terjaga silaturahimnya ya....amin ya robb....

boedak betuah mengatakan...
on 

mantap wak..link awak dah di pasang....pasang jge link kami ye..

boedak betuah mengatakan...
on 

mokaseh wak...mike ke rupat..memang mantap pantai sne tu..aku duluhari-hari kat sane..sebab atok aku orang sane..heeh

Posting Komentar